Image by FlamingText.com
Image by FlamingText.com

Sabtu, 19 November 2011

Catatan Si Kembang Bias

CATATAN SI KEMBANG BIAS






A bud which should open up
            A root which should creep
            Drops of rain which should refresh
            It didn’t resemble in my face . . .

            “Kasian ya, masih muda kok punya penyakit kayak gitu ?!” ucap salah satu ibu rumah tangga tatkala dia menatap gadis muda berkursi roda di depan rumahnya dari kejauhan.
“Anak muda zaman sekarang memang terlalu dibuai cinta, jadinya seperti itu !“ balas rekannya. Kemudian mereka berdua melanjutkan langkahnya tanpa mereka sadari perkataan itu terdengar oleh gadis berkursi roda itu.
”Seperti itukah aku ?” gumamnya.
***
Sering aku bertanya kepada diri dan kepada mereka tentang cinta. Semua membisu. Apa yang bisa diterka, nyatanya hidup ini busur lingkar semata. Kemana mesti pergi mencari yang lebih abadi ? ingin hati terbang ke ujung langit. Lari dari hati ke hati, dari embun ke embun, dari hening ke hening.
            Senja sudah hampir tiba. Sempatkah aku dengarkan lagu merdu senandung nada gairah ? yang ada, cuma gelombang di hati kelam tanpa cahaya. Bayang selalu menyuram dan mengabut menyemikan gelora duka dari jauh.
            “Neng Mawar,hari hampir malam, kenapa belum masuk rumah juga ?” Bi Asih menyeru dari balik pintu teras luar.
            “Belum, Bi. Saya ingin menunggu matahari tenggelam perlahan di ufuk sana.” Balasku masih menatap ke atas langit menguning. Tak lama kemudian, matahari mulai menyembunyikan dirinya. Tenggelam hingga cahayanya hilang.
       Melangkah dari bayangan saat aku masih menatap indah sang raja siang tenggelam, pikirku kembali mengelilingi langkah-langkah yang telah kulalui bersama ayah yang kini telah menjadi ombak ganas menggulung seluruh harapan hidup ibuku. Yang membuat ibu seakan terapung ditengah samudra tak tahu bagaimana harus menyelamatkan buah cintanya sehingga ia tega pergi menelantarkan anak demi kepuasan semata pula. Tatapanku kosong, jiwaku menjelajahi masa lalu.
      Aku Mawar. Banyak tetangga menyanjung keluarga kami sehingga membuatku merasa beruntung dilahirkan dari keluarga yang terhormat. Namun raut seakan terpasung waktu, hati tak kunjung bahagia tatkala mereka bercerai  ketika aku berusia 6 tahun. Ratapanku seakan mengulum sendu. Hingga kini aku tidak jalani hidup dengan mereka. Suasana sungguh membuatku berbeda dengan semula. Kubuka jendela jiwa lewat nyanyian atau sebaris puisi namun semua tak seperti biasa, hanya reruntuhan kesakitan yang meringis mengaduh.
Sungguh pahit bagi si buah hati ini jika mengingat tingkah ayah, yang hanya karena dimabuk asmara dengan perempuan lain, diapun jadi tidak berarti. Semua itu membuat aku menjadi benci. Pikiranku menjadi buta karena diselimuti oleh rasa dendam dan amarah yang kian menjadi.
      Semenjak mereka pisah, keceriaanku pudar. Diri ini dikuasai rasa dendam terhadap kaum adam.Tak ingin mengenal Cinta.Terus begitu hingga aku beranjak dewasa. .
      Namun, kehidupanku mulai berubah ketika aku bertemu dengan seorang pemuda. Hingga menimbulkan suatu rasa yang berbeda. Pertama kali aku bertemu dengan dirinya, yaitu ketika aku masih duduk dibangku SMA di kota kembang.
***
            3 tahun yang lalu . . .

            Bruk !!!
Tumpukkan buku terjatuh dari genggamanku. Aku bertabrakkan dengan siswa sebayaku !
“Sorry…” gumamnya. Dia membereskan tumpukkan buku yang berceceran dibawah lantai koridor sekolah kemudian menyerahkannya padaku.
“Gak apa-apa. Makasih.” Wajahku berkesan dingin. Sorot matanya menyelidikiku,tidak berkedip sama sekali. “Kenapa kamu tatap aku seperti itu ?” tanyaku heran.
“Eh, sorry,” seakan dia sadar oleh lamunannya,”Kamu siswi baru disini ?” tanyanya,”Aku belum pernah lihat kamu sebelumnya.”
“Nggak. Mungkin aku terlalu sering diperpus.” Balasku.
“Nama kamu siapa ? trus di kelas mana ?’
“Mawar, kelas 3 IPA 2.”
“Radit, 3 IPS 1.”
Kami saling berjabat tangan. Dia menggenggam erat tanganku. Sekilas rasa hangat menyebar seluruh tubuhku. Aku langsung melepas jabatannya. Dia tersenyum ramah. Aku tidak membalas, malah pergi meninggalkannya. Dari jauh aku sempat menengok. Dia masih memandangku. Tapi aku tak peduli. Dalam pikiranku, lelaki semua sama saja. Sama-sama Bejat !
***
Aku berjalan di samping motor siswa yang berderet di depan sekolah. Panas matahri menyengat parasku namun tidak mengubah pendirian hati untuk tetap berjilbab. Tepat dihadapanku, tampak Radit berdiri seorang diri. Radit menoleh, seketika itu-pun langkahku berhenti.
”Pertemuan kedua nih !” ujarnya. Aku tidak menggubris. ”Pulang ?”
”Emang kenapa ?”
”Kok gitu ?”
”Ada yang salah ?” tanyaku.
”Nggak,” jawabnya, ”Kamu orangnya kalem ya . . .” lanjutnya. Aku tidak membalas. Mataku tertuju kearah jalanan menunggu taksi lewat.”Biasanya orang seperti kamu itu selalu menyimpan perasaannya sendiri.” tambah Radit dengan nada serius.”Jangan-jangan, kalau kamu suka atau benci dengan seseorang, lebih baik dipendam sendiri ?!”
Benci ? ya. Tebakannya benar. Aku selalu menyimpan perasaanku sendiri. Cukup hanya aku yang tahu tentang perasaanku.
”Maaf ya, kalau perkataan aku tadi bikin kamu tersinggung.”
”Nggak apa-apa. Kita harus menghargai pendapat,iya kan ?” balasku.
Sebuah taksi berhenti di depanku. “Radit, aku duluan !” Aku kemudian meninggalkannya tanpa berfikir panjang. Aku tidak suka dia mengintrogasi perasaan orang, tapi disisi lain dia mengerti perasaanku. 
***
Prang….!”
            Tiba-tiba ada bunyi benda pecah diluar sana. Mataku tak bisa terpejam. Malam itu begitu ribut seperti biasanya. Teriakan dan tangisan dari luar seakan menusuk persendian tulangku.
Diam-diam aku beranjak dari tempat tidur.Aku mulai melangkahkan kakiku menuju pintu, “Klek !” pintu kamarku kubuka pelan-pelan. Aku mulai keluar kamar dan melewati ruang TV, setelah sampai diruang tamu, aku mengintip lewat dinding yang menghalangiku. Mataku menyelidik
“Alah . . .sudahlah !  bilang saja kalau selama ini Bapak selingkuh !” teriak ibu pada Bapak dengan sengit.
”Dasar wanita kurang ajar ! Berani sekali kamu menentang saya !” balas Bapak yang tidak kalah sengitnya.
”Bapak sudah menghancurkan rumah tangga Bapak sendiri !” lanjut Ibu. ”Apa kata anak kita nanti, kalau ternyata Bapaknya itu main selingkuh !”
            ”Diam kamu !” Bapak menampar Ibu dengan keras hingga bibir ibu berdarah. Aku, gadis kecil yang masih lugu hanya dapat menangis tidak berdaya.
            Beberapa hari kemudian Ibu resmi bercerai dengan ayah. Aku ikut bersama Ibu. Tapi ternyata tidak sebahagia yang aku bayangkan. Ekonomi kami semakin merosot sesudah Bapak pergi.
            ”Anakku, ibu harus mengurus usaha ibu di Surabaya. Bi Inah akan merawat kamu selama ibu disana.” jelas ibu padaku.
            ”Aku ingin bersama ibu” balasku sambil menangis.
            ”Tidak, Nak. Kamu harus tetap disini. Ibu janji akan menjenguk kamu.”
            ”Ibu, jangan tinggalin Mawar . . .Mawar ingin bersama ibu . . .” aku menangis. Aku takut ditinggal. Aku takut. ”Ibu  jangan tinggalin Mawar . . .”
***
            ”Ibu . . .!!!” aku terperanjat dari tidurku.
***
           
Mimpi tadi malam telah mengingatkan masa laluku. Aku menangis dibelakang sekolah. Sepi. Tidak ada seorangpun yang tahu bahwa aku selalu menangis dibelakang sekolah sendirian.
”Kenapa nangis ?” seru seseorang.
Aku kaget kemudian menoleh ke belakang. Radit sudah berada dibelakangku. ”Ngapain kamu disini !” balasku.
”Loh, mestinya aku yang nanya gitu. Sendirian dibelakang sekolah sambil nangis nggak karuan. Lagian kenapa sih ?”
”Bukan urusan kamu.” jawabku. ”Kamu nggak usah ikut campur urusan orang !”
”Memang sih kita nggak boleh ikut campur. Tapi kalau ngasih saran boleh kan ?” dia duduk disampingku. ”Aku teman kamu. Kalau kamu ada masalah, cerita. Jangan dipendam. Barangkali aku bisa bantu.”
”Kamu nggak ngerti !”
”Aku pasti bisa ngerti. Asal kamu cerita.” balasnya. ”Aku akan setia temani kamu. Kamu harus percaya sama aku.aku ingin jadi sahabat baik kamu.”
Aku terdiam.”Kamu mau jadi sahabat aku ?” dia mengangguk tersenyum. Dia menggenggam tanganku erat.
”Aku akan selalu disamping kamu.”
***
Pagi yang cerah memindahkan aku dari kegelapan. Mengajak untuk tersenyum pada mentari sebagai tanda syukur nikmat Sang pencipta. Terasa hangat dan bangkitkan semangat jiwa.
            Aku masih ingat bagaimana Radit menggenggam tangan ku dibelakang sekolah dengan mengucapkan kata-kata yang begitu yakin. Setelah itu aku percaya dan  menceritakan semua kehidupanku padanya.
            Dari situlah aku mulai dekat dengannya. Ada titik bening kecil menggeliat dimataku. Ada kunang-kunang menari di depan wajahku. Ada rindu bertalu nada tentangmu. Hari demi hari selalu bersamamu. Lewati berbagai cerita indah yang menghidupkan gairahku.
            Aku dapat tertawa lepas. Jalan pikirku perlahan berubah. Tak semua mereka jahat. Radit, sosok yang ku anggap hebat.
***
            “Mawar” gumam Radit
            “Ya, ada apa ?”
            “Kamu ada acara nggak nanti malam ?”
            “Gak ada. Lagian, aku selalu dirumah sendiri. Nggak suka keluar” jelasku.
            “Boleh nggak malam ini aku kerumah kamu. Ada sesuatu yang ingin aku kasih buat kamu.”
            Aku berpikir sejenak. “Ok, aku tunggu !” jawabku.
***
            Malam itu aku menunggu Radit didepan teras. Berjalan mondar-mandir menatap gerbang luar berharap dia segera muncul.
Ada sebuah rasa merasuki hatiku. Rasa itu tertanam lekat didiriku. Meski ku tak tahu rasa apa sebenarnya itu, Namun aku biarkan saja hingga menyebar utuh.
Radit datang. Dia menyapaku. Aku tersenyum dan mengajaknya masuk.
“Dit, sebenarnya kamu mau ngasih apa sih buat aku ?” tanyaku penasaran.
“Hm…apa ya ?” pura-pura linglung.
“Ih, jangan becanda dong. Aku penasaran.”
“Ok deh.” Dia membuka ranselnya dan mengeluarkan sebuah bingkisan berbentuk kotak. “Bingkisan ini buat kamu. Ayo buka. Sebelumnya, selamat ulang tahun yach !”
“Ya ampun. Ya, hari ini ulang tahun aku ! kok aku bisa lupa yach ?!” seruku baru menyadari. Aku langsung membuka bingkisan itu. Ternyata sebuah lampu dengan lapisannya yang bergambar ukiran keluarga. “Makasih yach. Tapi kok gambarnya kayak gini ?”
“Aku sengaja. Biar kamu bisa selalu ingat keluarga kamu.” Sejenak aku tersentak. Rasa dendam timbul kembali pada keluargaku. “Mawar, aku tahu kamu masih marah sama keluarga kamu. Tapi sebagai seorang anak, kita jangan sampai amat membenci orangtua kita.” Jelas Radit.
“Kamu nggak ngerti Radit. Aku sangat sakit oleh sikap mereka yang tidak peduli. Mereka hanya mementingkan dirinya masing-masing !”
“Sebesar apapun kesalahan mereka, aku yakin dilubuk hati mereka ada rasa cinta untuk kamu. Kamu pun begitu. Aku hanya nggak ingin kamu terus dibelenggu oleh rasa dendam. Aku senang kamu ceria. Itu akan terlihat cantik.”
Radit menatap tajam padaku. Tatapannya tak dapat melepaskan aku darinya. Ia membelai rambutku. Tubuhku dan tubuhnya perlahan mendekat. Aku dan dia semakin larut dalam tarian hembusan malam.
Malam, jangan usik aku untuk segera bertemu pagi. Karena aku ingin selalu bersama dengannya.. Malam itu, ku simak cinta yang telah menguasaiku dan yang telah membuatku seketika sirna.
***

“Hari ini Radit masuk sekolah nggak ?” tanyaku pada salah satu temannya.
“Nggak tuh.” Jawabnya.
Semenjak peristiwa itu aku tidak bertemu lagi dengannya. Berkali-kali aku hubungi, ponselnya selalu tidak aktif. Pernah suatu hari aku mendengar kabar bahwa dia sakit. Tapi ketika aku mendapatkan alamat rumahnya, tetangga bilang dia telah pindah tiga hari yang lalu. Aku bingung harus mencari kemana lagi.
Sebulan sudah aku menunggu kehadiran dia. Ketika aku pulang dari sekolah, sepucuk surat tersimpan di bawah pintu depan rumahku. Ku buka surat itu. Surat dari Radit.
“Radit . . .” linang air mata basahi pipiku. Aku tak kuasa menerima kenyataan ini. Badanku jatuh terkulai lemas. Surat itu pernyataan dari Radit. Dia sudah lama mengidap HIV. Kesalahannya terulang kembali, dan kali ini korbannya aku. Dia amat menyesal.
Seminggu kemudian aku periksa diri ke dokter. Setelah mengalami proses yang cukup lama, akhirnya aku dinyatakan positif terkena penyakit kotor itu. Ada tetesan air mata membasahi pipi kemudian jatuh di lantai bumi. Menambah perih sobeknya hati. Sejenak mata kosong ke muka dunia ditengah isak, sedangkan hati menatap ke belakang. Dalam sedetik, sejuta tragedi membayangkan kebahagiaan tinggal dalam khayal.
***
            Langit kian gelap. Aku masih duduk diatas kursi roda sambil memandang langit. Bi asih keluar menghampiri aku.
            “Neng, ayo masuk rumah. Angin malam tidak bagus buat kesehatan.” Kata Bi Asih. Aku langsung mengusap airmata yang keluar dipipiku. “Yang lalu, biarlah berlalu. Yang penting sekarang adalah kesehatan kamu, Mawar.” Bi Asih terlihat sedih menatapku.
            “Iya,” jawabku.”Makasih, Bi.” Ucapku parau. Bi asih mendorong kursi roda yang aku duduki. Membawa aku masuk kedalam rumah dengan penuh kasih sayang.
Dalam samar, ku tatap fakta yang tiada terpungkiri, sementara suara yang terpendam impian tak dapat kuhindari. Hatiku kabur berbaur bersama khayal dan nafsu bersama tangis yang tiada henti. Setiap aku melangkah bersama kehendak nafsu, setiap itu pula jiwaku terbongkar.
Radit. Kabar terakhir aku dengar bahwa tiga bulan yang lalu dia telah meninggal karena penyakitnya. Dia tidak lagi disisiku semenjak dua tahun silam. Dia meninggalkan aku. Entah dulu dia masih memikirkan aku atau tidak. Tapi aku masih memikirkannya. Meski hati kandas, tapi aku sering bertanya, apa aku benci atau rindu kepadanya ?
Kini aku masih hidup dengan duka dihati. Kurasakan dunia ini pedih. Entah kapan aku akan mati bersama penyakit ini. Aku akan selalu ingat kisahku dengan Radit..
Mawar . . .nama yang  indah bagai kembang mawar. Namun pada diriku bukanlah kembang mawar yang mekar. Aku kembang yang bias.
***     

0 komentar:

Posting Komentar