J |
emari lentikku tak henti menari lincah diatas keyboard dengan pandangan kelayar monitor, sesekali bola mata melirik keatas tuts yang dipijat. Dengan hela nafas panjang aku menyandarkan tubuhku yang mulai terasa pegal dipinggang atau kesemutan dikaki. Lalu kutarik kepala kekiri dan kekanan …krk ! krk ! dari pundak urat yang tegang melancarkan darah kaku dibahu. Sejenak aku tertegun dengan tatapan kosong kelangit-langit Lab. TIK.
“Waktunya habis. Jadi silahkan kalian bereskan semua perlengkapan belajar kalian. Ingat komputernya matikan, Tidak ada yang main Internet !” tegas Pak Toro guru pembimbing TIK kami.
“Ya . . . .Pak !!!” jawab Anak-anak serentak.
Melangkah dari bayangan saat aku bergegas untuk keluar dari ruangan itu, pikirku kembali mengelilingi langkah-langkah yang telah kulalui bersama ayah yang kini telah menjadi ombak ganas menggulung seluruh harapan hidup ibuku. Yang membuat ibu seakan terapung ditengah samudra tak tahu bagaimana harus menyelamatkan ketiga buah cintanya. Tatapanku kosong, jiwaku menjelajahi masa lalu…….
“Hei, jangan ngelamun !”tegur Anisa menepakku dari belakang ketika kami berjalan menuju koridor sekolah. Aku terperanjat kaget. “Ke Mesjid yuk nunggu Dzuhur !” ajaknya.
Akupun tersenyum mengangguk.
“Kenapa sih daritadi kamu ngelamun terus ? ada masalah yah ?” tanya Anisa, “Sesama Ukhti kalau punya masalah jangan dipendem, kita bicarakan sambil cari solusinya.”
“Aku ingat masa lalu keluargaku.” jawabku singkat.
Aku anak ke-dua dari tiga saudara. Banyak tetangga menyanjung keluarga kami sehingga membuatku merasa beruntung dilahirkan dari keluarga yang terhormat. Namun . . .raut seakan terpasung waktu, hati tak kunjung bahagia tatkala mereka bercerai lima bulan yanglalu. Ratapanku seakan mengulum sendu. Hingga kini aku hidup dengan ibu dan kedua saudaraku. Tapi suasana sungguh membuatku berbeda dengan semula. Kubuka jendela jiwa lewat nyanyian atau sebaris puisi namun semua tak seperti biasa, hanya reruntuhan kesakitan yang meringis mengaduh.
Aku duduk didalam mesjid yang masih sunyi. Sambil menunggu adzan Dzuhur aku mendengarkan lantunan musik pada earphoneku.
“Musik apaan tuh ?” tanya Anisa menghampiriku dan duduk disampingku.
“Front minor yang Believe me.”
“Kamu tuh . . .katanya mau insyaf tapi masih aja ngedengerin lagu dugem kayak gitu, Di mesjid lagi !” ketus Anisa, “Coba deh kamu dengerin lagu Saujana atau Raihan kek, itukan lebih sret kehati kita sebagai umat muslim,” lanjutnya, Aku hanya tersenyum melihat tingkahnya.
“Pakai mansetnya !” tegur Anisa, “Katanya pengen jadi Akhwat muslimah . . .”
“Iya, Sabar dikit napa sih !” balasku seraya memakai manset biru tua dikedua pergelangan tanganku, ”Kamu juga harus maklum dong, aku pengen jadi Akhwat muslimah juga harus butuh proses nggak bisa langsung rubah,” kataku, “Ntar malah sia-sia. Apalagi kalau nggak ada niatnya.”
“Iya . . .iya . . .Feel Calm.” Anisa tersenyum, “Masih ngebayangin masa lalu keluarga kamu ?”
“Iya.” jawabku “Aku bingung Nis, apa salah jika aku benci ama ayah sendiri ?” tanyaku.
“Sastra, aku tahu perasaan kamu kayak gimana. Suami yang sudah menyakiti istrinya memang sulit untuk dimaafkan oleh kita sebagai anak. Tapi kamu tahukan, orang yang harus kita patuhi untuk mendapat keridhaan Allah ada lima. Pertama Ibu, Kedua Ibu, ketiga Ibu, keempat Ibu dan yang kelima Bapak.” jelas Anisa.
“Ya, aku tahu. Tapi jika orangtua kita melakukan kesalahan gimana ? dan kesalahan itu nggak bisa aku maafkan !”
“Wahai Ukhti, kamu nggak maukan kedua orangtua kamu masuk neraka karena tidak diridhai Allah?. Seburuk apapun kesalahan yang telah dilakukan oleh orangtua, kita tidak boleh membencinya, jadikanlah itu pelajaran yang dapat kita ambil hikmahnya.”
“Masalahnya aku nggak bisa ngelupain kesalahan ayahku, Nisa. Aku bingung mesti gimana !” tanyaku, “Aku ingin tenang seperti anak lainnya. Bahagia bersama anggota keluarga yang utuh!”
“Sas, kita hidup dibumi ini bukan saja harus memenuhi kepentingan duniawi, tapi Rohanipun perlu, malah itu adalah akhir dari tujuan kita hidup didunia ini.” kata Anisa, “Meskipun anggota keluarga nggak sempurna dan nggak bisa ngelupain kesalahan ayah kamu, tapi kita harus tetap melupakannya dengan mendekatkan diri kepada Allah.”
“Tetep nggak bisa !” seruku.
“Itu butuh proses, Sas.” Anisa memotong, “Sama halnya kamu ingin menjadi Akhwat yang muslimah, tentunya harus jalani proses dulukan ? berdzikir dan berusaha itu kuncinya. Aku percaya Allah akan memberikan petunjuk kepada umatnya. Allah Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Dia Maha Pemberi Petunjuk dan Rezeki,” jelasnya, “Kedua orang tuamu masih mending hanya bercerai. Banyak anak lain yang sudah ditinggalkan oleh orangtuanya jadi yatim piatu, padahal mereka belum sempat berbakti kepada orangtua mereka.” lanjutnya, “Kebayang gak sih kalau kita ntar bisa masuk surga, Subhanallah . . . .keindahan surga yang tidak ada tandingannya !” kata Anisa, “Apalagi jika berkumpul kembali dengan kedua orangtua kita disurga.” tambah Anisa, “Dan yang dapat menolong kedua orangtua dari api neraka adalah doa anak yang tulus, kamu pahamkan maksudnya ?”
Ingin sekali kurengkuh surgaku dan kukecup bunga-bunga disurga itu bersama orangtuaku. Ah . . .bayangannya selalu melintas. Lembut menenggelamkanku, membuatku diangan-angan lepas. Namun kenapa jiwa ini masih merasa kosong ?
“Sas, wudu yuk, bentar lagi mau Dzuhur loh !”
“Iya, Kamu duluan ntar aku nyusul.” balasku.
“Ya udah. Ingat Sas, orangtua adalah belahan jiwa kita juga.”
Anisa pergi menuju tempat Wudu. Aku masih diam menatap langit-langit Mesjid.
Bagai ditepi jalan aku dipaksa memilih antara gelap dan cahaya yang membuatku bimbang. Apakah didalam gelap ada cahaya? atau didalam cahaya ada gelap ? bila kusalah memilih, mungkin penyesalan akan jadi kebodohan dan aku tak ingin itu ! tunjukkan kau gelap indahmu dan tunjukan aku cahaya yang menipuku ! seharusnya aku sudah tau jawabannya, Biar salah tak menghantuiku, sebab waktu tak memberi aku tuk berfikir lama. Bisakah aku melupakan segala perbuatan ayah terhadap ibuku ? berat lidahku untuk menjawabnya !
Langit begitu mendung, angin menerpa lewat jendela yang terbuka. Kulihat gadis sebaya berlari lincah, tersenyum menghampiri lelaki tua yang tengah berdiri menunggunya. Lelaki itu mengecup kening putrinya dengan kecupan hangat. Matanya memancarkan kasih sayang yang tak ternilai oleh siapapun.
Senyumpun merekah dari raut wajahku. Bila gambaran ini adalah jawaban atas semua tanya yang kutebar dan bimbang yang aku punya, sesungguhnya aku ingin ini berakhir biar tidak ada lagi tangis dari hatiku.
Sisi lain direlung hatiku, Aku masih merindukan kehadiran dan kasih sayang ayah. Ayah adalah sosok Bapak yang tidak dapat tergantikan oleh oranglain. Ayah . . ternyata aku masih tetap menyayangi dan mencintaimu sebagaimana aku menyayangi dan mencintai Ibuku.
Sejenak kupejamkan mataku. Seingatku, adzan Dzuhur berkumandang mengiringi tetes airmata yang membasahi pipiku.
0 komentar:
Posting Komentar